Jumat, April 24, 2015

SENJA DI TEPI DERMAGA

Gadis itu duduk di tepi dermaga. Beberapa perahu yang tadinya menepi, tampak menjauh. Semakin lama semakin menghilang dari penglihatannya. Langit berwarna kemerah-merahan bersamaan dengan menit-menit tenggelamnya matahari di ufuk langit barat. Langit tampak indah sekali. Air laut memantulkan warna jingga. Angin sore menerpa keningnya lembut. Meniup poninya perlahan. Sudah nyaris malam, tetapi yang ditunggunya belum juga tiba, atau mungkin tidak datang.
Baiklah. Ia bangkit dari duduknya. Menepuk kedua tangannya dua kali. Ia sudah yakin bahwa yang ditunggunya tidak akan datang. Lantas berbalik arah, ingin pulang.
Baru saja ia membalikkan badannya, laki-laki itu tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya.
“Hai,” sapanya. Suaranya tidak seperti dulu. Nada ketegasan sudah lebih mendominasi suaranya. Bukan itu saja. Banyak perubahan fisik yang terlalu jauh jika dibandingkan dengan yang dahulu.
“Sudah malam,” kata gadis tersebut tanpa membalas sapaannya. Wajahnya masih terlihat menyimpan kesedihan seperti dulu. Rona kesedihan itu tak nampak sirna sedikitpun.
“Belum terlalu malam,” laki-laki itu melihat arlojinya. “Masih pukul enam.”
“Ini Indonesia, jangan kau bandingkan dengan Australia,” sahut gadis itu sedikit sinis.
Laki-laki itu terdiam. Lalu berdehem sebentar.
“Jika kau tidak keberatan, ada sesuatu... yang ingin kubicarakan...”
Gadis itu mengangkat alisnya. Tetap menjaga raut wajahnya agar tetap datar.
“Cepatlah.”
“Aku ingin... meneruskan apa yang dulu pernah terputus...”              
Gadis itu tertegun. Lalu tersenyum getir.
“Aku sudah kembali. Aku tidak akan pergi lagi dan...” laki-laki itu mengambil napas sejenak. “...aku berjanji tidak akan mengecewakanmu lagi.”
Gadis itu hanya menatapnya kosong. Sudah bebal telinganya mendengar janji-janji yang sama seperti dulu. Pikirannya kembali ke masa lalu, saat laki-laki itu meninggalkannya untuk sebuah ambisi. Hanya karena jarak, hanya karena terlalu memikirkan masa depan yang belum tentu terjadi, dia tega meninggalkan gadisnya yang juga sedang berjuang dengan masa depannya.
“Menulis...” gumam gadis itu hampir tak terdengar.
“Apa?”
“Kau tahu, dulu aku suka sekali menulis. Menulis tentangmu. Seolah-seolah kau adalah inspirasiku yang tak bertepi...” gadis itu menatap jari-jarinya. “Lihat, sekarang aku berkuliah dimana? Akankah di Sastra atau Jurnalistik seperti yang dulu sering kau terka karena melihat kecintaanku pada menulis? Tidak.”
“Ya, aku tahu itu...”
“Akhirnya aku menyadari, bahwa aku mencintai menulis karena dirimu. Hanya kau sumber inspirasiku. Sudah kualihkan semua pikiranku pada sesuatu yang ada. Namun tidak bisa! Jari-jariku seolah lumpuh untuk kembali menulis. Imajinasiku seolah tidak muncul kembali. Sejak kau pergi.”
Keduanya sama-sama membisu. Matahari semakin dekat pada peraduannya, bersamaan dengan memudarnya cahaya jingga di langit.
“Jadi...” gadis itu mengambil jeda panjang. Segera mengambil keputusan.
“Aku tidak ingin melanjutkannya kembali. Aku... telah cukup dengan semua luka yang kau beri. Aku sudah menerima kenyataan jika kau meninggalkanku...”
Matahari telah tenggelam seutuhnya.
“Maaf,” gadis itu menundukkan kepalanya sedikit. “Sudah malam, aku pergi dulu. Selamat tinggal.”
Gadis itu meninggalkan dermaga yang menjadi saksi bisu senja ini. Juga dengan laki-laki yang tetap mematung di tempatnya. Lampu mercusuar sudah dinyalakan, dan bunyi kecipak air menemani sunyinya dermaga senja kala itu.
*****


Sesungguhnya kesempatan tidak akan dua kali. Hargailah, lakukan yang terbaik di tiap kesempatan.

(Oleh: Afifah Mardliyah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar