Gadis
itu duduk di tepi dermaga. Beberapa perahu yang tadinya menepi, tampak menjauh.
Semakin lama semakin menghilang dari penglihatannya. Langit berwarna
kemerah-merahan bersamaan dengan menit-menit tenggelamnya matahari di ufuk
langit barat. Langit tampak indah sekali. Air laut memantulkan warna jingga.
Angin sore menerpa keningnya lembut. Meniup poninya perlahan. Sudah nyaris
malam, tetapi yang ditunggunya belum juga tiba, atau mungkin tidak datang.
Baiklah.
Ia bangkit dari duduknya. Menepuk kedua tangannya dua kali. Ia sudah yakin
bahwa yang ditunggunya tidak akan datang. Lantas berbalik arah, ingin pulang.
Baru
saja ia membalikkan badannya, laki-laki itu tiba-tiba sudah berdiri di
belakangnya.
“Hai,”
sapanya. Suaranya tidak seperti dulu. Nada ketegasan sudah lebih mendominasi
suaranya. Bukan itu saja. Banyak perubahan fisik yang terlalu jauh jika
dibandingkan dengan yang dahulu.
“Sudah
malam,” kata gadis tersebut tanpa membalas sapaannya. Wajahnya masih terlihat
menyimpan kesedihan seperti dulu. Rona kesedihan itu tak nampak sirna
sedikitpun.
“Belum
terlalu malam,” laki-laki itu melihat arlojinya. “Masih pukul enam.”
“Ini
Indonesia, jangan kau bandingkan dengan Australia,” sahut gadis itu sedikit sinis.
Laki-laki
itu terdiam. Lalu berdehem sebentar.
“Jika
kau tidak keberatan, ada sesuatu... yang ingin kubicarakan...”
Gadis
itu mengangkat alisnya. Tetap menjaga raut wajahnya agar tetap datar.
“Cepatlah.”
“Aku
ingin... meneruskan apa yang dulu pernah terputus...”
Gadis
itu tertegun. Lalu tersenyum getir.
“Aku
sudah kembali. Aku tidak akan pergi lagi dan...” laki-laki itu mengambil napas
sejenak. “...aku berjanji tidak akan mengecewakanmu lagi.”
Gadis
itu hanya menatapnya kosong. Sudah bebal telinganya mendengar janji-janji yang
sama seperti dulu. Pikirannya kembali ke masa lalu, saat laki-laki itu
meninggalkannya untuk sebuah ambisi. Hanya karena jarak, hanya karena terlalu
memikirkan masa depan yang belum tentu terjadi, dia tega meninggalkan gadisnya
yang juga sedang berjuang dengan masa depannya.
“Menulis...”
gumam gadis itu hampir tak terdengar.
“Apa?”
“Kau
tahu, dulu aku suka sekali menulis. Menulis tentangmu. Seolah-seolah kau adalah
inspirasiku yang tak bertepi...” gadis itu menatap jari-jarinya. “Lihat,
sekarang aku berkuliah dimana? Akankah di Sastra atau Jurnalistik seperti yang
dulu sering kau terka karena melihat kecintaanku pada menulis? Tidak.”
“Ya,
aku tahu itu...”
“Akhirnya
aku menyadari, bahwa aku mencintai menulis karena dirimu. Hanya kau sumber
inspirasiku. Sudah kualihkan semua pikiranku pada sesuatu yang ada. Namun tidak
bisa! Jari-jariku seolah lumpuh untuk kembali menulis. Imajinasiku seolah tidak
muncul kembali. Sejak kau pergi.”
Keduanya
sama-sama membisu. Matahari semakin dekat pada peraduannya, bersamaan dengan
memudarnya cahaya jingga di langit.
“Jadi...”
gadis itu mengambil jeda panjang. Segera mengambil keputusan.
“Aku
tidak ingin melanjutkannya kembali. Aku... telah cukup dengan semua luka yang
kau beri. Aku sudah menerima kenyataan jika kau meninggalkanku...”
Matahari
telah tenggelam seutuhnya.
“Maaf,”
gadis itu menundukkan kepalanya sedikit. “Sudah malam, aku pergi dulu. Selamat
tinggal.”
Gadis
itu meninggalkan dermaga yang menjadi saksi bisu senja ini. Juga dengan laki-laki
yang tetap mematung di tempatnya. Lampu mercusuar sudah dinyalakan, dan bunyi
kecipak air menemani sunyinya dermaga senja kala itu.
*****
Sesungguhnya kesempatan
tidak akan dua kali. Hargailah, lakukan yang terbaik di tiap kesempatan.
(Oleh:
Afifah Mardliyah)